Semasa kecil, Sarwo Edhi punya hobi berkelahi dan mengadu nyali (keberanian). Sampai akhirnya, ia belajar silat untuk mengasah kepandaiannya berkelahi. Anehnya, setelah ia mampu bermain silat, ia malah jarang berkelahi. Sebab, teman-teman yang diajaknya berkelahi sudah lari ketakutan sebelum berkelahi.
Ayahnya adalah seorang pegawai negeri sipil (Kepala Pegadaian) pada masa penjajahan Belanda. Meski didik oleh seorang pegawai negeri sipil, Sarwo kecil menjadikan ayahnya sebagai gambaran ideal baginya.
Sejak kecil Sarwo Edhi sangat ingin menjadi seorang prajurit. Ia mengagumi para tentara Jepang yang selalu memenangkan pertempuran melawan sekutu. Oleh sebab itu, ia mendaftarkan diri menjadi heiho (pembantu tentara) di Surabaya dengan harapan bisa menjadi tentara.
Sayang, selama ia menjadi heiho tidak ada keterampilan perang yang membuat ia tangguh menjadi seorang prajurit. Akhirnya ia meninggalkan pekerjaannya sebagai heiho. Setelah beberapa waktu, ia bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) . Ia membentuk batalion yang akhirnya bubar.
Menjadi Pucuk Pimpinan Tertinggi di Angkatan Darat
Perannya yang paling gemilang diraihnya pada tahun 1965, ketika peristiwa G-30-S/PKI meledak.
Sebagai Komandan RPKAD (Resimen Komando Angkatan Darat) yang namanya sempat diubah menjadi Kopasandha (Komando Pasukan Sandi Yudha) dan berubah lagi menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus- pasukan elit TNI Angkata Darat, yang lebih dikenal dengan nama pasukan baret merah ), Sarwo Edhi turun sendiri ke medan pertempuran menuntaskan para pemberontak dan menenangkan masyarakat.
Sukses menjalani karirnya, Sarwo Edhi pensiun dari bidang militer dan beralih ke lingkungan sipil. Ia dipercaya oleh negara untuk menjadi duta besar di Korea Selatan dan ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri. Setelah itu, Sarwo Edhi sempat ditunjuk untuk memangku jabatan sebagai Kepala BP7.
Di luar karirnya di bidang militer dan sipil, ternyata Jenderal Sarwo Edhi adalah penggemar olahraga taekwondo. Hingga masa akhir hidupnya, ia menjadi Ketua Taekwondo Indonesia.
Selain olahraga, Sarwo Edhi juga suka nonton film-film sejarah dan kolosal. Tokoh film favoritnya adalah Jenderal Mc. Arthur dan Jenderal Rommel. Meski ia suka film-film barat, ia juga penggemar wayang dan keris, lho!
Tahukah Kamu?
Jenderal (Purn) Sarwo Edhi adalah ayah dari Ibu Negara kita, Ibu Ani Yudhoyono. Nama beliau pun diabadikan menjadi nama sebuah gedung pertemuan di markas Koppasus Cijantung, Jakarta Timur.
Profil
Nama : SARWO EDHIE WIBOWO
Lahir : Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925
Meninggal: Jakarta, 09 November 1989
Agama :Islam
Pendidikan :
- MULO
- SMA
- Pendidikan Militer calon bintara Peta, Magelang
- Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, AS
- General Staff College, Australia
Karir :
- Komandan pasukan BKR (1945)
- Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX, Divisi Diponegoro (1945-1951)
- Komandan Kompi Bantuan, Resimen 13 Teritorium Diponegoro (1952-1953)
- Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Nasional (1959- 1961)
- Kepala Staf RPKAD (1962-1964)
- Komandan RPKAD (1965-1967)
- Panglima Kodam II Bukit Barisan (1967-1968)
- Panglima Kodam XVII Cenderawasih (1968-1970)
- Gubernur Akabri (1970-1973)
- Dubes RI di Kor-Sel
- Irjen Deplu (1978-1983)
- Kepala BP7 (1984 --1990 )
Kegiatan Lain :
- Ketua Umum Perkumpulan Taekwondo Indonesia (1984 -- 1999)
Kosa Kata
batalion
kesatuan tentara (300--1.000 tentara) merupakan bagian dari resimen.
resimen
pasukan tentara yang terdiri atas beberapa batalion yang biasanya dikepalai oleh seorang perwira menengah. (berbagai sumber/KBBI/Kidnesia)
No comments:
Post a Comment